Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.504 pulau dan baru setengahnya yang identifikasi (Data dari Ekspedisi Garis Depan Nusantara 2008 yang merupakan insiatif oganisasi pecinta lingkungan Wanadri dan komunitas budaya Rumah Nusantara. Kegiatan ini didukung Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Perhubungan, TNI AL, Bakosurtanal, Medco Energi, KOMPAS, TransTV, dan Trans-7) Jumlah yang besar ini mengindikasikan pula kekayaan flora dan fauna yang dipunyai Indonesia.

Dalam buku yang dikeluarkan Conservation International: “Megadiversity : Earth’s Biologically Wealthiest Nations” (1998) disebutkan bahwa Indonesia berada di urutan kedua dalam hal keanekaragaman hayati. Namun eksploitasi berlebihan pada sumberdaya hayati sekarang ini menjadi isu kritis, dan menjadi masalah besar dalam manajemen keanekaragaman hayati khususnya keanekaragaman biota laut. Isu terakhir yang banyak menyita perhatian adalah kerusakan terumbu karang (coral reef), karena perannya yang sentral dalam ekosistem laut.

Dengan panjang pantai 81.000 km Indonesia bisa dikatakan negara yang memiliki paling banyak ragam terumbu karang di kawasan Asia Pasifik. Luas terumbu karang Indonesia mencapai 51.000 km2 atau setara 18% terumbu karang di dunia. Namun kini keberadaannya terancam, dan diperkirakan tinggal enam persen saja yang masih baik dan utuh. Dari hasil penelitian P3O-LIPI sudah berhasil diidentifikasi 354 tipe dan 75 famili terumbu karang. Terumbu karang mempunyai banyak peran penting. Dengan keberadaannya, terumbu karang dapat mencegah abrasi, karena pantai dan desa-desa yang terletak di dekat pantai terlindungi dari hantaman ombak. Terumbu karang juga merupakan pemasok penting untuk bermacam-macam kegiatan industri, seperti industri farmasi, kesehatan dan industri pangan.

Terumbu karang juga berguna untuk meningkatkan animo masyarakat pada kegiatan diving, karena variasi terumbu karang yang berwarna-warni dan dalam bentuk yang memikat merupakan atraksi tersendiri untuk orang-orang asing maupun turis domestik, sebagaimana misalnya di Maluku, Papua dan Sulawesi Utara. Dan yang jarang diketahui orang adalah kemampuan terumbu karang dalam memproduksi oksigen sebagaimana hutan di daratan, sehingga pesisir laut dapat menjadi habitat yang nyaman bagi bermacam-macam biota laut.

Selama berabad-abad penduduk yang tinggal di dekat pantai “berhubungan” dengan terumbu karang dalam kondisi yang harmonis. Namun dalam beberapa waktu terakhir ini, melalui introduksi teknologi baru dan naiknya permintaan terhadap produksi laut menyebabkan terumbu karang menjadi obyek dari perusakan yang serius. Banyak ilmuwan melihat bahwa penyebab utama kerusakan terumbu karang adalah manusia (anthropogenic impact), misalnya melalui kegiatan tangkap lebih (over-exploitation) terhadap hasil laut, penggunaan teknologi yang merusak (seperti potassium cyanide, bom ikan, muro ami dan lain-lain), erosi, polusi industri dan mismanajemen dari kegiatan pertambangan telah merusak terumbu karang baik secara langsung maupun tidak langsung.

Selama ini nelayan selalu dianggap oleh berbagai pihak lain sebagai perusak lingkungan, khususnya terumbu karang. Beberapa jenis teknologi yang mereka gunakan untuk menangkap ikan itu tidak ramah lingkungan atau merusak lingkungan (unfriendly technology), contohnya adalah penggunaan bom ikan, potassium sianida dan lain-lain. Fenomena yang banyak menarik perhatian banyak pihak adalah nelayan pengguna potassium cyanide (KCN atau potas atau sianida) karena dua alasan. Pertama, tingkat kerusakan yang ditimbulkan senyawa kimia ini terhadap terumbu karang sangat signifikan, dan kedua adalah meningkatnya jumlah nelayan pengguna potassium cyanide ini seiring dengan masa krisis BBM di Indonesia.

Menurut M Imran Amin, dari Telapak dalam bukunya yang berjudul Semprotan Maut di Nusantara, dijelaskan bahwa penggunaan potassium cyanide sudah begitu meluas karena 60 persen nelayan Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka mengandalkan hidupnya dari mencari ikan. Supaya dapat ikan banyak tanpa perlu melaut (karena harga BBM yang mahal), mereka menyemprotkan potassium cyanide di sela-sela terumbu karang di tepi pantai.

Tanpa perlu melaut, mereka akan mendapat ikan dalam jumlah yang cukup banyak.  Apa sebabnya?  Karena racun Potassium cyanide sangat mudah ditemukan di pasaran dengan harga rata-rata antara Rp40 ribu- 50 ribu per kilogramnya.  Satu kali semprotan sianida atau sekitar 20 cc dapat mematikan terumbu karang seluas setengah lapangan sepak bola (5×5 m2) dalam waktu 3-6 bulan.  Dalam waktu tidak lama terumbu karang berubah warna menjadi putih dan hancur. Masa regenerasi terumbu karang untuk kembali ke kondisi semula membutuhkan waktu sampai ratusan tahun.

Kasus desa Les:
Desa Les merupakan salah satu desa di Kecamatan Tejakula yang berada di wilayah paling timur Kabupaten Buleleng. Panjang ruas pantai Kabupaten Bulelang sekitar 144 kilometer, 19 kilometer di antaranya melewati Kecamatan Tejakula. Sekitar dua kilometer berada di wilayah Desa Les. Di barat Desa Les berbatasan dengan Desa Tejakula, dan di timur dengan Desa Penutukan. Jika melalui Bedugul, desa ini berjarak sekitar 130 kilometer dari Denpasar. Namun jika melewati Kintamani, jaraknya dengan Denpasar hanya 90 kilometer.  Penduduk Desa Les bekerja sebagai nelayan ikan hias, ikan konsumsi, dan petani. Di bawah laut Desa Les ini ada sekitar 420 jenis ikan hias, antara lain Dascyllus trimaculatus (dakocan hitam),  (angle BK), Balistodes conspicillum (triger kembang), Paracanthurus hepatus (leter six), Pamacanthus xanthometapon (angle napoleon), dan Pomacanthus imperator (angle batman).

Dari ujung Pulau Dewata, nelayan Desa Les menunjukkan kesiapan mereka menghadapi globalisasi. “Kami nelayan bebas sianida!” Jika ada yang melanggar, hukum adat berbicara dan sanksinya bisa berupa pengucilan oleh seluruh warga.  Nelayan Bebas Sianida! Ikan hias kami bebas sianida! Selamatkan Terumbu Karang! Kalimat-kalimat itu menjadi slogan para nelayan Kelompok Nelayan Mina Bakti Soansari, Desa Les, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.  Perjuangan membebaskan ikan hias dari sianida itu berawal sejak tahun 1990-an. Kini para nelayan Les pun lantang menyuarakan: “Kami bebas sianida. Bebas pemakaian potasium.

Program nelayan bebas sianida di desa Les

  • Program dimulai dengan penyadaran akan bahaya racun potas (racun sianida, potassium cyanide) – Kampanye penyadaran : “Ramahlah terhadap lingkungan hidup,” diwujudkan dalam pemutaran DVD “Fish Don’t Cry” di Bale Banjar yang dilanjutkan dengan diskusi bersama penduduk tentang tindak lanjut dari penghentian pemakaian racun potas.
  • Dampak langsung penghentian pemakaian racun itu adalah turunnya pendapatan nelayan. Untuk mengatasi hal itu, para nelayan didorong untuk membentuk koperasi yang diberi nama Kelompok Nelayan Mina Bakti Soansari. Pendirian koperasi ini difasilitasi oleh LSM Telapak Indonesia. Tujuan utama dari pendirian koperasi ini adalah menghimpun dana dari para nelayan secara swadaya dan swakelola sehingga bargaining position dari para nelayan itu meningkat.
  • Kelompok Nelayan Mina Bakti Soansari ini kemudian bekerja sama dengan Yayasan Bahtera Nusantara, mendirikan perusahaan ikan hias milik bersama pada bulan September 2003, yang diberi nama PT Bahtera Lestari, sahamnya antara lain dimiliki oleh Kelompok Nelayan Mina Bakti Soansari (23,5 persen), pemilik tanah (22 persen), desa dinas dan adat (10 persen), serta Yayasan Bahtera Nusantara (26 persen). Total modal perusahaan sebesar Rp 112 juta. “Bayangkan, modal kami hanyalah kebersamaan dan kesamaan keinginan untuk mewujudkan lestarinya alam bawah laut bebas sianida,” kata aktivis Yayasan Bahtera Nusantara Arsonetri yang sudah akrab dengan para nelayan.
  • PT Bahtera Lestari kemudian mengkoordinir penangkapan ikan hias bebas sianida dan menjualnya langsung ke eksportir di Denpasar. Ikan yang ditangkap setiap hari harus sesuai pesanan eksportir. Selain itu, ikan yang ditangkap harus berukuran kurang dari 10 sentimeter dan lebih dari lima sentimeter, sehingga ikan mempunyai tenggang waktu untuk berkembang biak secara alami.
  • Sejak meninggalkan botol semprot berisi sianida, jumlah dan pendapatan para nelayan menurun. Jika biasanya mereka mampu meraup pendapatan lebih dari Rp 30.000 per hari, kini justru berkurang. Alasannya, tidak semua jenis ikan hias dapat ditangkap. “Yang terpenting kami sudah tidak lagi dikejar-kejar petugas, dan kehidupan bawah laut kami tetap aman,” kata Arsonetri. Kelestarian alam bawah laut yang telah dibangun sekitar lima tahun itu menjanjikan keindahan dan kepuasan.
  • Setelah PT Bahtera Lestari terbentuk, maka dikembangkankanlah pendidikan pelestarian ekosistem bawah laut, yang difasilitasi LSM Telapak Indonesia, melalui program Candi Siu (TheThousand Underwater Temples), yaitu membangun ribuan stupa tempat menempel terumbu karang di dasar laut. Lalu para perempuan dan istri-istri nelayan diajar untuk menyetek terumbu karang untuk ditanam di dasar laut dan di Candi Siu. Tempat di bawah laut dimana nelayan Desa Les bermimpi mendukung dunia pariwisata melalui wisata bawah air (diving dan snorkeling).
  • Sekarang, kampanye “Ramahlah terhadap lingkungan hidup,” seperti dikampanyekan dalam video Fish Don’t Cry buatan Cipto Aji Gunawan itu telah dinominasikan dalam International Underwater Foto and Video Competition, Juni 2005 lalu di Singapura. Bahkan, kecantikan alam bawah laut Desa Les itu telah dijadikan klip film Moment of The Earth. Desa Les mulai dikenal di dunia.
  • Untuk meningkatkan taraf hidup nelayan selanjutnya, maka rembug desa memilih mengembangkan ekowisata di desa Les. Banjar lalu membuka akses ke air terjun Les dan membuka program out bound (untuk mengatasi buruknya transportasi- kendala transportasi malah bisa dijual) bekerja sama dengan Bali Out Bound Community. Program out bound ini sekarang dikenal sebagai Free Run with Les Water Fall. Program ini berhasil menumbuh-kembangkan industri pariwisata di desa Les, mulai dari pendirian cottages, pembuatan benda-benda seni dan cendera mata, gallery dan toko souvenir, wisata kuliner dan ecotourism dll.
  • Desa Les adalah contoh keberhasilan pemberdayaan masyarakat dalam rangka penghentian penggunaan racun potas (racun sianida, potassium cyanide) yang diikuti dengan program pendidikan terpadu bagi masyarakat, yang menghasilkan peningkatan taraf hidup masyarakat.

kabarindonesia.com,17/9/2008