Sejarah dan Jenis Vaksin

Jauh sebelum kita mengembangkan vaksin ternyata Nybelin (1935): ikan mampu melakukan respon imun terhadap infeksi bakteri Vibrio anguillarum.Duff (1942): antibodi mampu melindungi ikan dari infeksi Aeromanas salmonicida. Pada Tahun 1970-an: vaksin komersial pertama pada ikan untuk menangani penyakit ERM (enteric redmouth disease), vibriosis dan furunculosis. Baru saat ini vaksin menjadi bagian SOP budidaya ikan salmon dan Trout dan pemerintah menegaskan bahwa semua benih dari UPT DJPB. Vaksin yang telah berkembang sekarang ini dapat dikatagorikan menjadi 3 (tiga) jenis, sebagaimana pada tabel dibawah ini.

 Tabel. Jenis Golongan Vaksin

No Jenis Vasinasi Keterangan
1. Killed vaccine (vaksin in-aktif)
  • Patogen yang dimatikan
  • Paling banyak dipakai: bakteri utuh yang diinaktivasi dengan formalin atau pemanasan.
  • Efektif menginduksi respon humoral (antibodi), tetapi kurang efektif merangsang kekebalan selular dan mukosal.
  • VaksinVibriosis di Eropa tahun 1970-an
  • Aeromonas hydrophila (formalin 0,o3%)
2 Live-vaccine(vaksin hidup)
  • Patogen dilemahkan (live-attenuated)
  • Seperti infeksi oleh patogen tapi tidak menimbulkan penyakit.
  • Terpapar antigen dalam waktu yang lama sehingga efektif dalam merangsang kekebalan selular.
  • Kemungkinan patogen menjadi ganas kembali, dalam implementasisulit mendapatkan ijin.
  • Rekayasa genetik: gen virulensi dihilangkan sehingga patogen tidak ganas
  • KV-3 (Kovac, Israel)
3 Vaksin sub-unit (vaksin rekombinan)
  • Vaksin dari bagian/komponen mikroorganisme misalnya kapsul polisakarida, exotoksin, atau
  • Protein rekombinan hasil rekayasa genetik:

▪Kloning gen imunogenik ke dalam bakteri

▪Bakteri sebagai ‘pabrik’ produksi protein imunogenik.

▪Cocok untuk membuat vaksin dari patogen yang sulit dikultur masal seperti virus, Piscirickettsia dan Renibacterium salmoninarum.

▪Vaksin gen VP2 untuk IPN pada ikan salmon

  • Kecil resiko patogen menjadi ganas.
4 Vaksin DNA
  • Jenis vaksin masa depan;
  • Dalam Proses pengembangan

 Sumber: Balitbang KP, 2013

Ikan adalah organisme yang mudah terifeksi penyakit yang diakibatkan oleh parasit, bakteri, cendawan dan virus apabila dibudidayakan dalam sistem terkontrol. Penanggulangan penyakit dengan menggunakan bahan kimia termasuk antibiotik memberikan dampak yang tidak baik bagi lingkungan maupun manusia yang mengonsumsinya. Penyakit yang disebabkan oleh virus relatif lebih sulit ditangani karena tidak ada treatmen komersial maupun kemoterapetan yang ekonomis yang bermanfaat dalam penanggulangan penyakit infeksi oleh virus. Oleh karena itu langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah langkah yang bersifat profilaksis misalnya vaksinasi dan diagnosis penyakit dalam rangka pencegahan terjadinya wabah penyakit (Leong et al.dalam http://www.nps.ars.usda.gov).

Vaksinasi mampu meningkatkan produktifitas ikan salmon secara signifikan di Norwegia. Produksi ikan salmon pada tahun 1987 sebesar 65,000 metrik ton dan meningkat menjadi 700,000 metrik ton pada tahun 2007. Penggunaan vaksin juga mereduksi penggunaan antibiotik dari 48,500 kg menjadi 649 kg (Gravningen & Berntsen 2008).

Vaksin yang pertama kali dikembangkan pada budidaya ikan adalah vaksin terhadap penyakit bakterial pada tahun 1970. Vaksin mulai diintroduksikan ke lingkungan akuakultur pada awal tahun 1980. Adanya vaksin ini ikut meningkatkan pertumbuhan industri budidaya secara signifikan serta penerimaan konsumen terhadap ikan yang dibudidayakan. Hal ini disebabkan karena berkurangnya dampak terhadap lingkungan serta peningkatan mutu bahan pangan dari ikan karena adanya minimalisasi dalam penggunaan antibotik (Lorenzen & LaPatra 2005).

Hirono (2005) menjelaskan bahwa proteksi yang diberikan oleh vaksin utuh (vaksin konvensional) yang dilemahkan cukup tinggi baik dalam membangkitkan kekebalan seluler maupun humoral, akan tetapi berpotensi untuk terjadinya infeksi. Kelemahan ini dapat diperbaiki oleh vaksin DNA yang mampu membangkitkan respon kekebalan seluler maupun humoral akan tetapi tidak menimbulkan terjadinya infeksi karena yang dimasukkan hanya bagian tertentu saja dari virus, dalam hal ini gen glikoprotein. Oleh karena itu vaksin DNA memiliki prospek dikembangkan dalam akuakultur untuk mencegah terjadinya infeksi penyakit, dalam hal ini KHV.

Vaksin virus untuk ikan jarang dijual secara komersial. Di Amerika Serikat sendiri agak sulit untuk mendapatkan lisensi peredaran karena prosesnya panjang dan biayanya mahal serta efikasi vaksin yang tidak konsisten. Kendala yang lain adalah masalah keamanan vaksin virus yang diatenuasi masih dipertanyakan karena memiliki potensi untuk bangkit kembali dan menginfeksi inang yang divaksinasi (Leong et al. Dalamhttp://www.nps.ars.usda.gov). Berkembangnya penyediaan vaksin untuk menanggulangi penyakit yang diakibatkan oleh viral haemorrhagic septicaemia virus (VHSV), infectious haematopoietic necrosis virus (IHNV), infectious pancreatic necrosis virus (IPNV) dan infectious salmon anemia virus (ISAV) cukup memberikan perlindungan bagi budidaya ikan salmon. Di sisi lain, penumbuhan virus bakal vaksin di sel kultur ikan memerlukan biaya yang tidak sedikit.Untuk efisiensi biaya budidaya maka vaksin DNA perlu dikembangkan lebih lanjut. Pada level eksperimen vaksin ini dapat melawan virus dengan tingkat paling efisien. Vaksin ini berbasis pada plasmid DNA yang membawa sisipan gen misalnya glikoprotein dan disertai dengan promoter dan terminator/polyA untuk keperluan ekspresi di ikan (Lorenzen & LaPatra 2005).

Hirono (2005) mengelompokkan perkembangan vaksin pada ikan menjadi tiga generasi. Generasi pertama adalah vaksin konvensional yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu vaksin yang diinaktivasi/dimatikan (inactivated vaccine) dan vaksin hidup yang dilemahkan (live attenuated vaccine). Vaksin generasi kedua adalah vaksin protein rekombinan (recombinant protein vaccine) dan vaksin generasi ketiga adalah vaksin DNA (DNA vaccine).

Vaksin yang diinaktivasi memiliki keuntungan tidak ada resiko infeksi sedangkan kelemahannya adalah biaya produksi mahal, pada beberapa kasus tidak ada respon kekebalan yang ditimbulkan, serta daya tahan yang ditimbulkan relatif singkat. Vaksin yang dilemahkan memiliki keuntungan yaitu mampu menginduksi tanggap kebal humoral dan seluler serta memiliki daya proteksi dalam waktu relatif lama. Kelemahan vaksin yang dilemahkan adalah memungkinkan terjadinya infeksi. Keuntungan vaksin protein rekombinan adalah biaya produksi tidak mahal serta dapat diproduksi secara massal, sedangkan kelemahannya adalah tidak mampu mengaktivasi kekebalan seluler. Vaksin DNA memiliki keuntungan yaitu tidak menimbulkan resiko infeksi, mudah dikembangkan dan diproduksi, bersifat stabil dan mampu mengaktivasi sistem kekebalan baik humoral maupun seluler, sedang kelemahannya adalah terbatasnya protein yang bersifat imunogenik.

Vaksin DNA memiliki beberapa keunggulan sehingga layak untuk dikembangkan. Beberapa keunggulan vaksin DNA menurut Lorenzen dan Lapatra (2005) yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengembangkannya adalah:

  1. Bersifat generik dan sederhana
  2. Aman dan tidak menimbulkan resiko terinfeksi penyakit
  3. Kombinasi keuntungan dari vaksin yang dimatikan (inactivated vaccine) dan yang dilemahkan (attenuated vaccine)
  4. Dapat mencapai keberhasilan tujuan vaksinasi ketika vaksinasi konvensional gagal
  5. Memungkinkan untuk diberikan bersama ajuvan molekular misalnya motif CpG
  6. Mengaktifkan baik sistem kekebalan humoral maupun seluler
  7. Memungkinkan vaksinasi multivalen yaitu dengan mencampur vaksin DNA untuk lebih dari satu jenis penyakit melalui vaksinasi yang dilakukan secara bersamaan
  8. Memberikan proteksi yang baik apabila diberikan pada stadia awal
  9. Proteksi dapat diinduksi dalam waktu singkat dan memberikan efek proteksi dalam jangka waktu lama
  10. Dapat memberikan proteksi baik dalam suhu rendah maupun tinggi
  11. Dapat memberikan proteksi pada heterologous strain pathogen
  12. Dapat menyediakan vaksin untuk patogen baru dalam waktu cepat dan biaya rendah
  13. Produk murni memiliki stabilitas yang tinggi
  14. Biaya produksi relatif murah dan mudah diproduksi

Lorenzen dan LaPatra (2005) memaparkan bahwa ikan rainbow trout yang divaksinasi dengan DNA glikoprotein VHS (viral haemorrhagic septicaemia) memperlihatkan proteksi total yang merupakan komplementasi antara respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik. Respon imun non-spesifik bekerja pada lebih awal, setelah peranannya menurun digantikan oleh respon spesifik. Proteksi ini dipresentasikan dengan kelangsungan hidup relatif (relative percentage survival=RPS). Di Indonesia vaksin DNA sudah mulai dikembangkan. Vaksin yang dikembangkan ini diantaranya adalah Vaksin DNA untuk mencegah infeksi KHV pada ikan mas dan koi, serta vaksin untuk mencegah penyakit VNN pada ikan kerapu.